Oleh: Titin Kurniawati Ry
Jarkarta, Pemilihan Umum atau Pemilu menjadi salah satu tanda suatu Negara menganut demokrasi. Selain itu dalam pemerintahan yang ideal juga terdapat oposisi yang lahir dari proses pemilu yang dimana pihak yang kalah mengambil sikap kritis terhadap pelaksanaan pemerintahan oleh rezim yang berkuasa.
Keberadaan oposisi juga sebagai simbol demokrasi karena dalam pembuatan kebijakan (making discussion) oposisi menciptakan control dan keseimbangan (checks and balance). Namun tak jarang kekuasaan menganggap oposisi tidak diperlukan bahkan harus disingkirkan dan menganggap sebagai musuh.
Indonesia telah melakukan proses Pemilu ke-13 kali yaitu 14 Februari 2024. Dalam pemilu tersebut terdapat tiga pasangan calon yakni Anis Rasyid Abaswedan-Muhaimin Iskandar nomor urut 01, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka nomor urut 02 dan Ganjar Pranowo-Mahfud M.D nomor urut 03, yang kemudian dimenangkan oleh pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden menggantikan rezim Joko Widodo.
Sejak dilantik pada Minggu, 20 Oktober 2024 yang lalu, hal ini menjadi salah satu pertanyaan besar dipublik ‘apakah kita akan terjebak dalam situasi politik yang sama? Salah satu kekuatan kekuasaan yaitu dapat membuat kebijakan terlebih lagi di era Presiden Prabowo saat ini kekuatan fraksi partai yang pro pemeriantah pada saat pencalonan prabowo derdasarkan jumlah kursi DPR RI 2024 yaitu sebanyak 232 kursi (48.37%) dari total kursi 532 kursi di senayan di tambah lagi disinyalir koalisi perubahan yang mengusung Anies kemungkinan melakukan maneuver ke kubu pemerintahan yakni PKB, Nasdem dan PKS dengan total kursi 190 kursi (32.76%).
Jika ketiganya benar-benar bergabung dengan pemerintahan maka rezim Prabowo menjadi rezim super power dengan 81.13% suara di DPR RI. Jika demikian maka partai oposisi hanyalah PDIP yang memiliki 110 kursi (18.97%) di parlement.
Jika kita merujuk pada ungkapan Lord Acton yang mengatakan “power tends to corrupt but absolute power corrupt absolutely” seseorang yang memiliki kekuasaan cenderumg menyalahgunakan kekuasaan tetapi dengan kekuasaan yang absolut pasti akan menyalahgunakan kekuasaan itu.
Hal ini sangatlah berbahaya untuk keberlangsungan Negara demokrasi karena peran oposisi seolah tidak diperlukan bahkan sangat kecil pengaruhnya. Hal ini membuka jalan bagi kesewenang-wenangan pemerintah dalam mebuat dan merumuskan kebijakan karena tidak adanya alternatif pikiran sebagai perbandingan dalam pembuatan kebijkan.
Dalam Konteks Ferdinard Marcos, Presiden Filipina memerintah dari Tahun 1965-1986 kekuasaan absolutnya dimulai ketika mendeklarasikan darurat militer pada 1972, yang membuatnya bisa mengendalikan semua spek pemerintahan. Sebagai akibatnya pada masa itu juga terjadi korupsi besar-besaran dengan dugaan bahwa Marcos dan keluarganya menggelapkan dana negara mencapai USD 10 miliar. Selain itu, pelangaran Hak Asasi Manusia menjadi masalah besar dengan adanya penangkapan sewenang-wenang dan penekanan terhadap kritik. Kekuasaan besar yang tak terkendali mengakibatkan maraknya penyalahgunaan kekuasaan terkonsentrasi pada satu pihak yang merugikan rakyat secara besar-besaran.
Hal ini dapat dicegah dengan konsistensi ke tiga partai tersebut yakni PKB, Nasdem dan PKS dengan tidak tergiur pada kepentingan pragmatis saja. Selain itu sikap Prabowo menjadi kunci dalam mencegah hal tersebut dengan tidak mengajak ketiga partai tersebut dalam pemerintahan. Namun faktanya Muhaimin Iskandar sebagai ketua partai PBB menjadi menteri kordinator pemberdayaan masyarakat. Hal ini memperkuat bahwa Prabowo berupaya memperkecil wilayah oposisi dalam pemerintahan.
Redaksi