LENSA-RAKYAT.COM, JAKARTA | Kinerja Kejaksaan Agung dalam menangani kasus korupsi Rp. 43 triliun dana investasi saham BPJS Ketenagakerjaan mendapat sorotan publik.
“Ada apa dengan Kejagung, menyandera kasus yang sudah setahun lebih mangkrak di Gedung Bundar itu,” kata penggiat anti korupsi HM. Jusuf Rizal kepada media di Jakarta, Rabu (28/7/2021).
Jusuf Rizal yang juga aktivis buruh pekerja menilai lambatnya kinerja Kejaksaan Agung akan menjadi preseden buruk bagi penanganan kasus korupsi yang menggerogoti uang para buruh pekerja.
“Ini sekaligus tamparan bagi Jaksa Agung Burhanuddin, karena tidak mampu menuntaskan kasusnya yang sudah setahun lebih,” tegas Jusuf Rizal.
Kasus investasi saham BPJS Ketenagakerjaan kembali menjadi sorotan publik, setelah BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) memberikan penilaian bahwa penempatan investasi saham BPJS Ketenagakerjaan lemah dan berpotensi merugikan.
Jusuf Rizal yang juga Presiden LSM LIRA (Lumbung Informasi Rakyat) menilai sangat aneh kasus yang sudah ditangani Kejagung sejak 20 Desember 2020 itu, tidak tuntas-tuntas alias jalan di tempat.
“Sehingga muncul pertanyaan, ada Apa dengan Kejagung?”
Sebaiknya, lanjut Jusuf Rizal, Jaksa Agung Burhanuddin segera tuntaskan kasus tersebut dan jangan menyandera, sebab lambannya kinerja Kejagung merugikan banyak pihak. Tidak hanya BPJS Ketenagakerjaan, tapi juga puluhan orang yang telah terperiksa.
Lebih lanjut, pria berdarah Madura-Batak, Ketua Presidium Relawan Jokowi-KH.Ma’ruf Amin The President Center itu mengingatkan, mangkraknya kasus investasi saham BPJS Ketenagakerjaan di Kejaksaan Agung akan membawa pengaruh negatif bagi BPJS Ketenagakerjaan dan pemerintah.
Jusuf Rizal memaparkan setidaknya ada lima dampak buruk akibat mangkraknya kasus investasi BPJS Ketenagakerjaan di Kejaksaan Agung:
Pertama, BPJS Ketenagakerjaan bisa kehilangan kepercayaan (untrust) dari publik. Kehilangan kepercayaan kepada Direksi, Dewas dan akhirnya berimbas kepada hilangnya respek publik kepada Pemerintahan Jokowi-KH. Ma’ruf Amin.
Kedua, BPJS Ketenagakerjaan bisa kehilangan kepercayaan dari para pekerja dan buruh maupun pengusaha yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan yang jumlahnya jutaan, baik pekerja formal maupun non formal.
“Bisa dibayangkan jika masyarakat pekerja dan buruh tidak percaya lagi terhadap kinerja BPJS Ketenagakerjaan. Modal BPJS Ketenagakerjaan yang saat ini sudah hampir mencapai Rp450 triliun bisa drop. Pekerja tidak mau bayar iuran,” tegas Jusuf Rizal
Ketiga, saat ini mereka yang terperiksa tidak bisa bergerak. Bekerja pun tidak bisa sebelum status mereka jelas di mata hukum. Bersalah atau tidak. Ini sama dengan Kejagung mendzolimi rakyat.
Keempat, citra dan wibawa Kejaksaan Agung makin terpuruk, apalagi setelah kasus Korupsi Jaksa Pinangki Sirna Kumalasari yang ikut menyeret berbagai pihak. Kejagung tidak memiliki wibawa lagi.
Kelima, jika kasus ini terus disandera dan tidak dituntaskan, bisa saja Kejagung dianggap bermain dalam kasus ini. Image negatif seolah kasus ini jadi ATM oleh oknum-oknum tertentu Kejagung.
“Jadi kita mendorong Kejagung harus profesional dan proporsional menuntaskan kasus ini. Jika dianggap tidak ada pelanggaran segera putuskan, dan atau jika ada pelanggaran hukum segera tetapkan tersangka agar tuntas,” tambah Jusuf Rizal yang juga Ketum PWMOI (Perkumpulan Wartawan Media Online Indonesia). Itu (Red )